JINGGA MEMUDAR DI PUSARA JIWA


oleh: Fand Affandi

Kupandang lukisan diujung dinding itu.Lukisan seraut wajah cantik berkerudung hitam. Ah,tiba-tiba hatiku tramat sakit melihatnya. Terasa sejuta pisau tajam menyayat hati. Mengingat kenyataan dia sudah tak lagi sendiri. Seperti yg dikatakannya pagi tadi melalui hape...
"Aku sudah menikah a..." Bluar!! Petir seakan menghantam dadaku ketika itu. Memporak porandakan hatiku. Walau saat itu aku tak sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakannya. Sungguh, saat itu aku amat berharap kata- katanya itu adalah bohong.
"Aa..?"suara disebrang sana memanggilku. Aku tak menjawab. Hanya diam. Merasakan sekujur tubuhku yang tiba-tiba lemas. Tulang belulang ditubuhku tak lagi mampu menopang beban tubuhku. Aku ambruk dikursi kerja.
"A... Halo aa... " lagi suaranya disebrang sana memanggilku. Tapi... Klik! Kuputuskan hubungan telpon dihapeku.
Dia menikah?? Benarkah?? Tanyaku dalam hati. Seakan saat itu ingin ku pinta jawaban dari hatiku sendiri...
Benar... Ia sudah menikah,fand... Dan semua itu karena ulahmu sendiri...
Karena kesalahanmu... Kamu yang meninggalkan dia,fand... Jadi kamu harus percaya jika dia telah menjadi milik orang lain... Bukan kah itu juga yang kamu inginkan,fand???
Hatiku berteriak lantang. Seakan meyakinkanku dan mengingatkan aku pada kenyataan yang terjadi sekarang.
Ugh... Kuhela nafas dengan berat. Sesak semakin melanda dadaku. Dia sudah menikah. Harusnya aku bahagia dengan kenyataan itu. Harusnya aku bersyukur dia telah menikah. Karena itu tujuan aku pergi dari hidup dan hatinya. Tapi kenapa aku sama sekali merasa lain dari yang kuharapkan. Aku malah merasa tersiksa dan hatiku terasa sakit. Sakit yang teramat sangat. Kenapa??! Ku pejamkan mataku skuat tenagaku.
Berusaha menghindar dari kenyataan yang terjadi kini.
"Kamu masih sayang sama dia,fand..."
sebuah tangan mencekal lenganku. Lembut,tapi mampu membuatku terkejut. Seorang cewek telah berdiri disampingku. Ifa,cewek itu. Cewek yang selama satu bulan ini setia merawatku dimasa pemulihan. Dia menatapku dengan tatapan yang penuh cahaya.
Aku menunduk. Aku tak menjawab. Hanya kuhela nafas. Aku tidak tahu perlukah aku menjawab pertanyaan Ifa? Jika sebenarnya aku memang masih sangat mencintainya. Rasanya sudah tak perlu lagi. Aku tak perlu mengatakannya lagi,karena dia sudah menjadi milik orang lain. Dan ini konsekuensi yang harus aku terima dengan semua yang aku pilih. Kebahagiaan dia dan orang tuanya yang lebih penting untukku dari pada ego cintaku. Karena aku sadar aku tak mampu menjamin kebahagiaannya jika dia bersamaku.
Siapalah aku ini. Cowok bertubuh ringkih yang tak henti digerogoti ganasnya kangker yang bersarang diotakku. Aku amat takut. Takut melihatnya tersiksa dan menderita oleh keadaanku.
"Aku tau kamu masih sayang dia,fand..."Ifa duduk dikursi kecil disampingku dengan tangan masih mencekal lenganku. Tatapannya masih lekat memandangku. "Kenapa kamu tidak kembali padanya,fand? Kamu katakan padanya jika kamu masih sayang padanya..."
Kuangkat wajahku. Menatap cewek itu dengan lekat. Tapi aku masih diam.
"Jangan pikirkan perasaanku,fand... Biar aku mengalah... Dia cintamu... Dia mimpimu,fand... Dapatkan dia... Aku akan sangat bahagia bila dirimu merasa bahagia..."ada nada tulus dari suaranya yang lembut itu.
Berlahan aku menggeleng. "Dia sudah menjadi milik orang lain,Fa...." pandanganku kembali pada lukisan itu. "Maksudmu??"tanya Ifa dengan masih lekat menatapku. Aku kembali menghela nafas, "Dia sudah menikah..."jawabku lirih.
"Menikah??"nada suara ifa nampak terkejut. Aku mengangguk. "Kenapa? Kenapa kamu biarkan dia menikah dengan orang lain?? Bukankah kamu mencintainya??"ifa memandangku dengan pandangan yang nampak tak percaya,"atau dia sudah tak mencintaimu lagi?"
Aku tak menjawab. Aku bergegas bangkit. Menyeret langkahku menuju jendela. Melepas jauh pandanganku ke langit senja yang nampak mendung. Jingga yang biasanya menghiasi langit senja kini seakan hilang memudar. Terhalang pekatnya mendung. ***
Pukul 05 :35,kabut dingin memeluk kota Karawang. Mendung juga masih saja tetap menaungi dilangit. Seakan hujan akan segera turun memandikan bumi. Diantara kabut pagi jalan brigpol nasuha,ku tancap gas motorku. Hari ini ada panggilan mendadak dari kantor redaksi majalah tempatku kerja. Kabarnya ada liputan mendadak. Walau sebenarnya hatiku masih merasa tak nyaman. Bayangan wajahnya seakan lekat menempel dalam pikiranku. Dan suaranya yang mengabari tentang pernikahannya trus saja terngiang ditelingaku. Ugh...beberapa kali aku mencoba menghindarinya,tapi sia-sia. Semua masih mengacaukan pikiranku. Kupercepat laju motorku. 100 km/jam. Melaju membelah kabut pagi. Tak lagi peduli pada dingin pagi yang menembus jeket jeans belelku. Ditrafik light,ku belokkan motorku tanpa mengurangi kecepatannya. Dan... Bruak..!! Kurasakan sebuah benturan yang teramat keras.
Dan tubuhku terasa melayang terpental... Lalu semua yang kulihat hanya hitam. Sekelilingku semuanya gelap gulita. Rasa dingin terasa kian menusuk.
Aku benar-benar merasa seperti berada diruang yang teramat gelap dan dingin. Kucoba mencari-cari sesuatu disekitarku. Tapi semuanya hanya gelap.
"Aku sudah menikah a...!" aku terperanjat. Suara itu tiba-tiba menggema ditiap penjuru. Kucoba mencari-cari dari mana asal suara itu. Tapi tetap saja hanya pekat yang mampu aku lihat.
"Aku sudah menikah a...!" lagi suara itu jelas terdengar. Kucoba bergerak. Meraba-raba mencari apa saja yang bisa kubuat pegangan. Kosong. Semua hampa. Tak ada yang mampu kujadikan pegangan. "Menikahlah dulu,nak... Jingga sudah berusia lebih dari cukup untuk menikah... Semua teman-temannya sudah menikah,nak... Mak'e juga sudah ingin sekali menimang cucu dari Jingga...." Aku makin terkejut. Itu suara Emaknya Jingga. Jelas menggema diruangan gelap itu. Dan aku masih tak tau dari mana asal suara2 itu. "Mak'e sama Bapak'e sangat ingin melihat Jingga segera menikah,nak... Mak'e akan bahagia bila Jingga menikah,nak..."suara itu terus menggema dipenjuru gelap. Aku ingat itu kalimat
Emaknya Jingga ketika ku telpon satu bulan yang lalu. Itulah kalimat yang membuatku brada dalam satu dilema. Dilema yang teramat berat dan mampu membuat bathinku terguncang hebat. Antara kebahagiaan mereka dan Sebuah prinsip hidup. Jika aku menikahi Jingga saat ini, maka aku telah gagal mempertahankan sebuah prinsip yang selama ini kugenggam kuat. Tapi jika ku tetap mempertahankan prinsip hidupku, sama saja aku memenggal kebahagiaan Jingga dan Orang tuanya. "Menikahlah dulu,nak!! Menikahlah dulu,nak!! Menikahlah dulu,nak!! " Kututup telingaku kuat-kuat. Tapi tetap suara itu masih jelas terdengar. Lalu kucoba untuk berlari. Ah...Kakiku beku. Tak mampu sedikit pun kugerakkan... Tiba-tiba tubuhku ambruk. Lemas. Seakan semua tulang belulangku dilolosi dari tubuhku. Aku berusaha berontak. Tapi tetap tubuhku tak mampu bergerak.
"Jangan Fand... Jangan kau hancurkan prinsipmu... Kau akan menjadi pecundang...!! Jingga akan kembali ke Hongkong... 2 tahun lagi dia baru kembali... 2 tahun kau akan dicundangi...
2 tahun kau kan hidup tak ubahnya banci... 2 tahun kau membiarkan istrimu menaruhkan nyawanya... 2 tahun kau melepas tanggung jawabmu..." Lagi-lagi aku terperanjat. Kali ini yang kudengar adalah suaraku sendiri. "Lebih baik kau jadi pecundang cintamu dari pada kau menjadi pecundang karena ego cintamu..."
Aku berusaha bangkit. Berusaha berteriak memaki suara-suara itu. Tapi tetap tubuhku tak mampu kugerakkan. Lidahku pun kelu. Hatiku tiba- tiba terasa perih. Dan ada yang mulai mendesak diujung kedua mataku. Aku berusaha memejamkan kedua mataku. Berusaha membendung air mata ini. Namun aku tak mampu menahannya. Pertahananku bobol. Berlahan air mataku mengalir membasahi pipiku. "Yaa Allah..."aku membuka mataku,ketika kurasakan ada sesuatu menetes dikeningku. Sesuatu yang basah dan hangat.
Dan ketika kubuka kedua mataku, aku melihat sebuah bias cahaya dikejauhan sana. Kembali aku coba menggerakan jari tanganku. Jariku mampu bergerak walau sedikit saja. Bias cahaya itu mulai bergerak mendekat. Mendekat... Mendekat
... Dan akhirnya bias cahaya itu berubah menjadi sebuah lampu neon dilangit-langit sebuah ruangan bercat putih. Ternyata aku berada disebuah ruangan. Berbaring disebuah ranjang. Kurasakan semua tubuhku beku. Kutolehkan pandanganku ke samping kananku. Kudapati seraut wajah pucat dengan kedua mata yang memerah. Wajah seorang cewek dengan jilbab putih yang tak asing untukku. Cewek itu adalah Ifa. Dan sesuatu yang menetes dikeningku adalah air matanya. Cewek itu tersenyum tapi matanya malah banjir. Tangannya yang lembut meraih jemariku. Air matanya membudal kian deras membasahi tanganku. "Fa...."panggilku dengan lemah. Ifa menggeleng dan menempelkan telunjuknya dibibirku. Lalu dia menghambur dan memelukku. Tangisnya pecah didadaku. "Faaaand..."itu yang keluar dari bibirnya.

"Faaaand..."itu yang keluar dari bibirnya. Selanjutnya hanya isak tangisnya saja yang kudengar. Berlahan tanganku yang ditempel jarum infus bergerak. Mengelus kepala Ifa yang tertutup kerudung putihnya. "Alhamdulillah kamu siuman juga,fand..."katanya diantara isak tangisnya.
Kuputarkan pandangan keseantero ruangan. Ruangan yang rasanya kukenal,tapi entah dimana.
"aku dimana,fa?"lalu tanyaku dengan bingung.
"kamu dirumah sakit... 3 hari kamu koma..."katanya dengan mengankat kepalanya dan tangisnya masih pecah.
"apa yang terjadi denganku??"
"kamu menabrak minibus,fand...kondisi kamu dan motormu parah...aku tau kamu sudah disini..."jelas ifa dengan mata yang terus saja basah.
"sudahlah,fa..."kuraih pipinya yang memerah. Menyeka air mata yang terus membasahi pipinya.
"Aku amat takut,fand..."kedua tanganya mencekal lenganku...
"Takut kenapa,fa??"kupand ang mata basah itu.
Kembali ia menghambur dan merebahkan kepalanya kedadaku. "aku takut kehilanganmu..."
Aku tersenyum. Lalu kuangkat bahunya. "aku takan pergi kemana-mana,fa..."
"Kamu janji??"
Aku mengangguk.
***
Senja mulai menampakkan lembayung jingga. Memberi warna pada langitnya. Kuhela napasku. Ketika kulihat diujung langit sana ada mendung yang merangkak mendekat lembayung itu.
Berlahan lembayung jingga membias terhalang kabut.
Jingga pun berganti menjadi kelabu.

Ah...seperti itulah jingga dihatiku. Biarlah jingga membias di pusara jiwaku. Kukubur dalam-dalam. Walau aku tau aku tak mungkin mampu melupakannya. Sampai kapan pun dialah Jinggaku...

Untuk

Retno Wulandari

KEDIRI


gambar: google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UNDANGAN LOMBA SENI KREASI TABUH BEDUG

Kembara Srikandi Tauladan Zaman Nabi S.A.W

10 Ciri Muslimah Sejati